ALIRAN
FILSAFAT TIMUR
Filsafat Timur
merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari dunia
Timur atau Asia,
seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme,
dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem
pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi
menjadi filsafat Hindu dan
filsafat Buddhisme,
sedangkan filsafat Cina dapat terbagi menjadi Konfusianisme
dan Taoisme.
Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran antara sistem filsafat
yang satu dengan yang lain, misalnya Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun
kemudian menjadi lebih berpengaruh di Tiongkok ketimbang di India. Di sisi lain,
filsafat Islam malah
lebih banyak bertemu dengan filsafat Barat.
Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang terkenal
dengan sebutan "Empat Tradisi Besar" yaitu Hinduisme, Buddhisme,
Taoisme, dan Konfusianisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri
yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri agama terdapat juga di
dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau
tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Di dalam studi post-kolonial bahkan
ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah ketimbang sistem pemikiran
Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya
karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik.
Akan tetapi, sekalipun di antara filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat
perbedaan-perbedaan, namun tidak dapat dinilai mana yang lebih baik, sebab
masing-masing memiliki keunikannya sendiri. Selain itu, keduanya diharapkan
dapat saling melengkapi khazanah filsafat secara luas.
Ada empat periode besar dalam
filsafat Barat:
Zaman
Yunani (600 sM – 400 M);
Zaman
Patristik dan Skolastik (300 M – 1500 M);
Zaman
Modern (1500 M – 1800 M);
Zaman
sekarang (setelah 1800 M).
Ø
Zaman Yunani
Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha
mencari asal (asas) segala sesuatu (“arche” = ). Tidakkah di balik
keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales
mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles:
api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir (“panta
rei” = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru
sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu
itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya
hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya
untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya
tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM)
berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang
benar.
Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati
Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Hidup
pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis” (“yang
bijaksana dan berapengetahuan”), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia
dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada
dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan
oleh Cicero kemudian, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit,
mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Karena itu dia
didakwa “memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke
pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia
bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota
Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di
hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
Plato
menyumbangkan ajaran tentang “idea”. Menurut Plato, hanya idea-lah realitas
sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang
kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia
idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan
keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua
kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, … bisa
berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, … kekal adanya. Itulah
sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato
ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif,
bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya
dari dunia idea, — konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini.
Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah
terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan
karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang
kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato
mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah
dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah
keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu
persoalan ada (“being”) dan mengada (menjadi, “becoming”).
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah
menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu
“berubah” (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang
hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi.
Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat
(mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya
sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya)
sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola
pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato,
realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut
Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita.
Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya
bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran
dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan
manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia
mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada
idea-bawaan.
Aristoteles
menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh
pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode
empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan
yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung
unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi
penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji
keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti
sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau
akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam
konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita
adalah “pria yang belum lengkap”. Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan
reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada
anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah “ladang”,
yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah “yang menanam”.
Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan “bentuk”, sedang wanita
menyumbangkan “substansi”.
Dalam
makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama “jiwa”
(“psyche”, Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa:
berkat jiwanya, manusia dapat “mengamati” dunia secara inderawi, tetapi juga
sanggup “mengerti” dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan “nous”
(Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang membuat manusia mampu mengucapkan dan
menerima “logoz”. Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Aristoteles
menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas.
Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai
organon (“alat”) untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk
selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles
mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran
banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja
fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica
(yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks
(dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry
(dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species
(hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir
itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
Zaman
Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu
Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal
karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme
(Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: “kita harus memiliki
kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita”.
Neo-platonisme
(Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut oleh
Plotinos to en = “to hen”, yang esa, “the one”. Yang esa adalah awal, yang
pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat
dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa
pun juga. Yang esa adalah pusat daya, — seluruh realitas berasal dari pusat itu
lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya.
Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari to
en mengalir nouz = “nous”, budi, akal, bahkan roh (?). “Nous” merupakan
“bayang-bayang” dari “to hen”. Dari “nous” mengalir ynch = “psykhe”, jiwa, yang
merupakan perbatasan “nous” dengan mh ou = “me on”, materi, yang merupakan
kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah
tubuh. “Psykhe” merupakan penghubung antara “nous” yang terang, yang berlawanan
dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. — Menurut
neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk
mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada “to hen”, dan itulah tujuan
hidup manusia. “To hen” kiranya identik dengan konsep “Sang Sangkan Paraning
Dumadi” dalam tradisi Jawa.
Kesatuan
mistis dengan “to hen” merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi
untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi
pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir
kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada
terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak
pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman
menyatu dengan Tuhan atau “jiwa kosmik”. Banyak agama menekankan keterpisahan
antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan
seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa “penyatuan dengan Tuhan”. Ketika
penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia “kehilangan dirinya”, dia lenyap
ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau
sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi
pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari
jalan “pencucian dan pencerahan” untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup
sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan
dalam semua agama besar di dunia. Dalam “agama” Jawa dikenallah konsep
“manunggaling kawula lan Gusti”, yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali
dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan
keagamaan oleh Zoetmulder. (Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di
Fakultas Sastra UGM).
Ø Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)
Pemikiran
filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para Bapa
Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut
pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu
membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi
pokok bahasan utama. Hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya
dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh
Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa
terang (“lumens”) dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah
tertanam benih kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu
memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak
Allah yang istimewa = “imago Dei” (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh
memantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan
lainnya.
“Tuhan, engkau lebih tinggi daripada
yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam
dalam batinku” — itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai
transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan. Dalam zaman ini pokok-pokok
iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli (teks “Aku Percaya” yang
panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk
tentang trinitas — tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada waktu itu
dan dengan bahan dari Alkitab.
Agustinus
menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang
menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada
hari ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. “Allah
tidak ingin mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi
keselamatan mereka”. Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun
waktu diciptakan bersama dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan
tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu
yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa
tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun
hanya berarti “tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada”. Hakikat alam ciptaan
ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam ciptaan
adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini
tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau
terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli
filsafat pada umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan
mana yang terjadi. — Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut
Tuhan, merupakan cetusan kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala
sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan,
secara pasif, ketergantungan dari Tuhan, terciptanya itu dapat terjadi dalam
arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi kelirulah jika
dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan
Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh
kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung pada Tuhan
(creatio dan sekaligus conservatio).
Ø Zaman
Skolastik
Saya
membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang
diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan
(2) zaman skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di
Eropa (termasuk jazirah Spanyol).
Secara sederhana,
dalam zaman Patristik, “filsafat teologi”, dengan tanda dapat dibaca sebagai
“identik dengan”, “sama sebangun dengan”, “praktis tidak berbeda dengan”.
Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas
simbul dalam rumusan “filsafat teologi”, dalam periode skolastik barat tidak
ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan “filsafat teologi”.
Periode
Skolastik Timur
Abad
ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari
utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak
hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada
perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada
awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam
untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin
muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal
pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
Mazhab
Mu’tazila (725 – 850 – 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan
melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan
(selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat
dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu
membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus
mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari
perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa,
dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur’an
(Surah 3 ayat 110): “amr bil-a’ruf wa’l nahy an’al-munkar”.
Mazhab
Mu’tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur’an tercipta, artinya “dirumuskan oleh
manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus”. Maka para
Mu’tazila membaca Al Qur’an dengan kacamata rasionalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar