Minggu, 03 Januari 2016

filsafat dalam kehidupan sehari-hari

FILSAFAT DAN HIDUP SEHARI-HARI

Dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan berbagai macam pertanyaan yang muncul baik itu yang terpikirkan oleh kita maupun yang sebenarnya tidak pernah kita pikirkan. Berbagai aktivitas yang kita lakukan memiliki pelbagai macam persoalan-persoalan yang acap kali muncul dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Berfilsafat pun dapat diartikan bertanya-tanya disertai rasa heran. Dalam konteks yang ada, filsafat berperan sebagai hasil dari rasa heran terhadap apa yang menjadi pertanyaan yang akan kita lontarkan. Namun, berfilsafat pada kenyataannya pun tidak hanya mempertanyakan sesuatu yang dilihat, maupun dialami secara harfiah saja. Ada bagian-bagian atau waktu dimana pertanyaan-pertanyaan yang ada memiliki kualitas terhadap hidup itu sendiri. Dengan kita bertanya-tanya dalam dunia filsafat, sebenarnya kita justru bukan menjadi jauh dengan apa yang kita pertanyakan. Kita menjadi semakin intim dengan hal yang kita pertanyakan itu. Manusia sendirilah yang masuk, serta terlibat dalam permasalahan yang terjadi didalamnya. Kekuatan inilah yang membuat filsafat seakan-akan mempersatukan dimensi manusia sebagai subjek dengan permasalahan yang ada sebagai objek.
Selain itu, berfilsafat pun harus berhadapan dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa yang terjadi antar manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, maupun manusia dengan alampun menjadi suatu siklus dimensional yang menarik dalam dunia filsafat. Dalam hal ini, bahasa yang dimaksud ialah komunikasi yang terjadi antar makhluk yang ada didunia filsafat. Bahasa merupakan sistem lambang-lambang yang salit berkaitan. Sistematisasi dari lambang-lambang yang ada menimbulkan adanya suatu sikap dalam penerimaan kaidah-kaidah tertentu dalam kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Yang menarik dari bahasa yang digunakan oleh manusia ialah, bahasa yang digunakan manusia tidak terpatok dengan adanya kaidah-kaidah tertentu atau hanya hadir sebagai citra dari suatu keadaan manusia yang terus berkembang, yang dapat berubah dan berganti menurut lingkungan kebudayaan, kurun waktu tertentu, dan lingkungan bahasa tertentu. Disinilah peran filsafat dalam mencakup dimensi-dimensi bahasa yang ada guna mempersatukan presepsi orang tentang bahasa yang ada. Ada ilmu yang mempelajari komunikasi melalui sebuah lambang, yaitu semiotik. Dalam semiotik diberlakukan juga kaidah-kaidah mengenai tahapan komunikasi. Yang pertama mengatur lambang-lambang itu sendiri (syntaxis), yang kedua mengenai cara lambang menunjukan sebuah objek tertentu (semantik), dan yang ketiga mengenai hubungan sipemakai lambang (pragmatik).
 Dari ketiga hal inilah, didapat suatu struktur dalam kaidah berbahasa. Struktur yang dimaksud digunakan untuk mencari suatu keterangan-keterangan yang mendalam yang menggaris bawahi aneka macam peraturan yang berlaku dalam kancah pergaulan simbolis manusia. Struktur yang ada ini juga berperan dalam efektivitas serta efisiensi dari pelbagai permasalahan yang ada dalam dunia filsafat serta mampu bersinergi dengan siklus permasalahan yang ada guna menentukan jawaban-jawaban dalam pemecahan masalah tersebut. Berbicara mengenai bahasa lambang yang terstruktur tanpa berbicara mengenai akar-akar dari permasalahannya itu sendiri merupakan hal yang sia-sia. Dalam dunia filsafat, manusia juga diajak untuk mengetahui akar dari permasalah yang dipertanyakan mengenai kehidupan seseorang tersebut. Pengalaman-pengalaman yang ada, menjadi sebuah latarbelakang dari gambaran dunia secara sistematis yang terjadi dalam kehidupan manusia. Namun, dalam penarikan akar-akar permasalah yang ada, tentunya memperhatikan tatanan yang berlangsung secara fundamental dalam kesadaran insani setiap manusia. Manusia sendiri sebenarnya sadar kan dirinya sendiri maupun akan kehidupan dunia sekitarnya. Manusia sendiri memiliki kemampuan dalam menyajikan suatu sistem filsafat yang mampu digunakan dalam penafsiran-panafsiran kejadian-kejadian  berdasar pengalaman-pengalaman tertentu. Begitulah filsafat dapat mempengaruhi pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari.
Berbicara mengenai berbagai pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks berfilsafat. Ternyata mempunyai berbagai macam konflik-konflik yang menghiasi didalamnya. Konflik antara pengalaman dan filsafat dapat terjadi dengan begitu mudah karena pada dasarnya manusia memiliki naluri selalu ingin mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupannya. Yang menjadi perhatian disini ialah ketika dimana filsafat menjadi sebuah orientasi yang kadang-kadang membawa kita jauh diluar pengalaman yang ada dan memaksa kita untuk membantah pengalaman yang terjadi. Dalam konteks ini, filsafat mampu hadir sebagai suatu alat untuk mengkritisi dan mencari akar-akar dari pengalaman yang ada. Selain itu, dengan berfilsafat maka manusia dituntu untuk senantiasa berkelana dalam mencari jawaban tentang problematika yang hadir dalam pengalaman-pengalaman kehidupan manusia.

filsafat dalam ilmu pendidikan

Pendidikan
           
Pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar  yang berlangsung dalam segala hal lingkungan dan sepanjang hidup atau segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu.
            Pendidikan dalam arti sempit adalah sekolah atau pengajaran yang diselenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal .Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan serta tugas sosial mereka.
            Sedangkan pendidikan menurut definisi alternatif atau luas terbatas adalah usaha dasar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintahan , melalui kegiatan bimbingan, pengjaran yang berlangsung disekolah dan luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan hidup sekarang atau yang akan datang.Pendidikan atau pengalaman belajar yang terprogram dalam bentuk pendidikan formal dan non formal serta informasi disekolah maupun luar sekolah yang berlangsung seumur hidup bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan individu agar kemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat[1].
Hakekat Pendidikan
a.      Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan
   antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.
b.      Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang
         mengalami perubahan yang semakin pesat.
c.      Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupoan pribadi dan masyarakat.
d.      Pendidikan berlangsung seumur hidup.
e.      Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
         dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya[2].


Pentingnya filasafat dalam ilmu pendidikan
          
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan.          
Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan. Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama.    Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro.
           Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu Bantu yaitu filsafat umum.
Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan
Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan
[3].
1. Kajian ontologis ilmu pendidikan
           Pertama-tama panda latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
2. Kajian epistemologis ilmu pendidikan
           Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya.
Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
3. Kajian aksiologis ilmu pendidikan
           Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu perilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
           4. Kajian antropologis ilmu pendidikan
           Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas (2) individualitas (3) moralitas dasar antropologis (4) religiusitas.

Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan
           Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
·        Relasi esame manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
·         Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
·        Orang dewasa yang berpran sebagai pendidik (educator)
·        Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
·        Tujaun pendidikan (educational aims and objectives)
·        Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
·        Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)[4]
           Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukan lingkupnnya sehingga meliputi:
·        Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
·        Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
·        Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
·        Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
·        Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
Metode
Metode


Pedagogik

Andragogi

Metode
Metode

           Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya., dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakt dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang factor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait[5].
Kesimpulan
Jadi pedogogik menrupakan pengetahuan praktis dan filsafat merupakan pengetahuan teoritis dalam pendidikan. Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan
Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.Dan ilmu pendidikan merupakan pengembangan dari suatu fenomena yang diteliti oleh para pendidik professional demi meningkatkan mutu pendidikan.Oleh sebab itu filsafat merupakan dasar ilmu pedogogik karena mencakup aspek yang  luas dalam pendidikan baik pengetahuan umum dan sosial.

Daftar Pustaka

Mudhaharjo, Redjo, Pengantar Pendidikan ,Rajawali Pres,Jakarta 2002
Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars  
Nunu Heryanto,Makalah Falsafah Sains (PPs 702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Maret 2002

sejarah gunung santri banten

Gunung santri merupakan salah satu bukit dan nama kampung yang ada di Desa Bojonegara Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang Daerah ini berada di sebelah barat laut daerah pantai utara 7 Kilometer dari Kota Cilegon. 

Letak gunung santri berada ditengah dikelilingi gugusan gunung-gunung yang memanjang dimulai dari pantai dan berakhir pada gunung induk yaitu gunung gede. 


Di puncak gunung santri terdapat makan seorang wali yaitu Syekh Muhammad Sholeh, jarak tempuh dari kaki bukit menuju puncak bejarak 500 M hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. 

Kampung di sekitar gunung santri antara lain Kejangkungan, Lumajang, Ciranggon, Beji, Gunung Santri dan Pangsoran. Di kaki bukit sebelah utara di kampung Beji terdapat masjid kuno yang seumur dengan masjid Banten lama yaitu Masjid Beji yang merupakan masjid bersejarah yang masih kokoh tegak berdiri sesuai dengan bentuk aslinya sejak zaman Kesultanan Banten yang kala itu Sultan Hasanudin memimpin Banten. 

Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.

Sesuai ketelatennya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa UkirSari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang Bermunajat kepada Allah SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke Cirebon.


Karena kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah, akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang berada di blok Beji.

Syiar agam Islam yang dilakukan Sultan Hasanudin mendapat tantangan dari Prabu Pucuk Umun, karena berhasil menyebarkan agama Islam di Banten sampai bagian Selatan Gunung Pulosari (Gunung Karang) dan Pulau Panaitan Ujung Kulon. Keberhasilan ini mengusik Prabu Pucuk Umun karena semakin kehilangan pengaruh, dan menantang Sultan Hasanudin untuk bertarung dengan cara mengadu ayam jago dan sebagai taruhannya akan dipotong lehernya, tantangan Prabu Pucuk umun diterima oleh sultan Hasanudin.

Setelah Sultan Hasanudin bermusyawarah dengan pengawalnya Syekh Muhamad Soleh, akhirnya disepakati yang akan bertarung melawan Prabu Pucuk Umun adalah Syekh Muhamad Sholeh yang bisa menyerupai bentuk ayam jago seperti halnya ayam jago biasa. Hal ini terjadi karena kekuasaan Allah SWT.
Pertarungan dua ayam jago tersebut berlangsung seru namun akhirnya ayam jago milik Sultan Maulana Hasanudin yang memenangkan pertarungan dan membawa ayam jago tersebut kerumahnya. 

Ayam jago tersebut berubah menjadi sosok Syekh Muhammad Sholeh sekembalinya di rumah Sultan Maulana Hasanudin. Akibat kekalahan adu ayam jago tersebut Prabu Pucuk Umun pun tidak terima dan mengajak berperang Sultan Maulana Hasanudin, mungkin sedang naas pasukan Prabu Pucuk Umun pun kalah dalam perperangan dan mundur ke selatan bersembunyi di pedalaman rangkas yang sekarang dikenal dengan suku Baduy.

Setelah selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar.

Beliau Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M. 

Jalan menuju makam Waliyullah tersebut mencapai kemiringan 70-75 Derajat sehingga membutuhkan stamina yang prima untuk mencapai tujuan jika akan berziarah. Jarak tempuh dari tol cilegon Timur 6 KM kearah Utara Bojonegara, jika dari Kota Cilegon melalui jalan Eks Matahari lama sekarang menjadi gedung Cilegon Trade Center 7 KM kearah utara Bojonegara disarikan dari buku “Gunung Santri Objek Wisata Religius”.

sejarah caringin banten

KH.ASNAWI CARINGIN ( ULAMA DAN PENDEKAR BANTEN )

Saya teringat sekitar tahun 1992 , ketika masih di bangku Madarasah Aliyah mengadakan Tour Ziarah keliling Banten ke maqom para Auliya . Ada satu tempat yang sangat menarik yang saya kunjungi di suatu kampung bernama Caringin kecamatan Labuan Pandegalang Banten. Kampung Caringin dengan pesona Laut yang sangat mempesona diambil dari kata “beringin” yang artinya “pohon teduh yang Rindang  disana terdapat Maqom Auliyaillah seorang ulama pejuang bernama KH.ASNAWI yang orang kampung biasa memanggil dengan sebutan “mama Asnawi”  yang telah mengayomi masyarakat yang dianalogikan sebagai pohon beringin .
 KH.ASNAWI CARINGIN BANTEN
KH.Asnawi lahir di Kampung caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama  Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah . Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim Kh.Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam Agama Islam. Di mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani.Kecerdasan yang di miliki beliau dengam mudah mampu menyerap berbagai dsiplin ilmu yang telah di berikan gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari gurunya maka Syech Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya Kh.Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Alloh.
Sekembalinya dari Mekkah Kh.Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah , karena ketinggian ilmu yang dimiliki nama Kh.Asnawi mulai ramai dikenal orang dan menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat Banten. Situasi Tanah air yang masih di kuasai Penjajah Belanda dan rusak nya moral masyarakat pada waktu membuat Kh.Asnawi sering mendapat Ancaman dari pihak pihak yang merasa kebebasannya terusik.  Banten yang terkenal dengan Jawara jawaranya yang memiliki ilmu Kanuragan  dan dahulu terkenal sangat sadis dapat di taklukkan berkat kegigihan dan perjuangan Kh.Asnawi . Beliau juga terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat di segani  oleh kaum Penjajah Belanda .Kh.Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti Penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya Kh.Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan  ke Cianjur  oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda , Apa yang dilakukan Kh.Asnawi   mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama  lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.
Selama di pengasingan Kh.Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Alquran dan Tarekat kepada masyarakat  sekitar dan  setelah dirasa Aman Kh.Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salapiah Caringin sekitar tahun 1884 Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan  yang di bawa oleh Kh.Asnawi ke Caringin dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya Kh.Asnawi berdo’a memohon kepada Alloh agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa Kh.Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.

Tahun 1937 Kh.Asnawi berpulang kerahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj.Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ) dan di maqomkan di Masjid Salfiah Caringin , hingga kini Masjid Salafiah  Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut . Wallohu a’lam

kebebasan manusia

Kebebasan Manusia Menurut Jean Paul Sartre 


Perdebatan tentang manusia menjadi tema yang tidak pernah berhenti diperbincangkan. Manusia kerap dihadapkan pada menggumpalnya hasrat mencari tahu siapakah sejatinya dirinya? Apa sekiranya tujuan keberadaannya di tengah dunia? Bagaimana seharusnya ia hidup sebagai manusia? Pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti ini telah banyak dikupas oleh para filosof dari berbagai era dan aliran pemikiran filsafat. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menjadi salah satu filosof yang akrab menggumulinya terutama dalam kerangka pemikiran eksistensialismenya.
Existensialism is a Humanism merupakan salah satu karya representatif eksistensialisme Sartre. Karya ini awalnya merupakan ceramah yang presentasi dan publikasinya dimaksudkan sebagai tanggapan terhadap kritik-kritik yang dialamatkan kepada pemikirannya, sekaligus merupakan upaya mempertegas konsepsi eksistensialismenya sendiri. Sartre barangkali tidak pernah mengeksplisitkan maksud proyek eksistensialismenya sebagai sebuah kajian filosofis tentang manusia. Tetapi dalamExistensialism is a Humanism kelihatan sekali bahwa Sartre berupaya mencerahkan pembacanya melalui tesis-tesis dan argumentasi filosofis tentang siapakah manusia pun bagaimana seharusnya menjadi manusia. Berangkat dari asumsi itu, berikut ini penulis berupaya menggali dan memperkenalkan konsep Sartre tentang manusia dengan memanfaatkan pembacaan terhadap karyanya, Existensialism is a Humanism.

Siapakah Manusia Menurut Sartre?

Gagasan Sartre tentang manusia diselipkan dalam kajiannya tentang beberapa konsep dasar eksistensialismenya seperti ‘Eksistensi Mendahului Esensi’ dan ‘Humanisme.’ Maka dalam terang kedua konsep ini, penelusuran ‘siapakah manusia’ itu akan dilakukan.
1) Eksistensi Mendahului Esensi
Eksistensi mendahului esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan eksistensialime Sartre. Apa yang sekiranya dimaksudkan Sartre dengan konsep ini? Sartre sejatinya berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi yang menyokongnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan seperti berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan subjektivitasnya, manusia mesti menyingkirkan Tuhankarena subjektivitas tak pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Untuk menjelaskan konsep eksistensi mendahului esensi, Sartre memulainya dengan memakai contoh pembuatan pisau kertas (paper-knife) oleh seorang artisan. Apa yang terlebih dahulu exist tentu bukan produk material pisau, tetapi segala konsep tentang pisau entah bentuk, cara pembuatan, maksud dan cara penggunannya. Konsep ini bercokol dalam benak artisan sebagai pre-existent technique. Tapi logika ini adalah logika esensi mendahului eksistensi, jalan berpikir yang tidak bisa dikenakan pada Tuhan yang de facto tidak bereksistensi. Ketika menyebut Tuhan sebagai Pencipta, sebetulnya kita sedang mengenakan pada Tuhanmodel kerja seorang artisan. Ketika menciptakan manusia, kita menganggap bahwa dalam benak Tuhan telah bercokol berbagai konsep tentang esensi manusia entah kodrat manusia sebagai makhluk rasional, citra Tuhan, ens sociale, dan sebagainya.
Konsep seperti inilah yang ditentang Sartre melalui eksistensialisme ateistiknya: “Oleh karena Tuhan tidak exist maka setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelumnya dapat dibatasi oleh konsep-konsep tentang eksistensinya. Makhluk itu adalah manusia.” Dengan tesis inilah, Sartre menegaskan hakikat manusia sebagai being yang eksistensinya ada sebelum esensinya. Di sisi lain, keberadaan Tuhan dibatasi oleh berbagai definisi manusia tentang eksistensinya sendiri. Artinya, Tuhan ada sejauh manusia mendefinisikannya atau tegasnya,Tuhan melulu merupakan ciptaan atau buah pengatribusian oleh manusia saja.
Sampai di sini, pertanyaan yang mendesak diajukan adalah profil manusia macam manakah yang dimaksudkan Sartre dengan ‘manusia yang bereksistensi sebelum esensi?’ Pertama, Manusia sebagai Adalah. Eksistensi mendahului esensi berarti bahwa “manusia pertama-tama itu ada, menjumpai dirinya, mentas ke dalam dunia dan kemudian mendefinisikan siapa dirinya.” Manusia bukan apa-apa sebelum ia menjadi apa yang dikehendakinya sendiri untuk menjadi. Dengan kata lain, pada awal keberadaannya manusia tidak mengenakan definisi apapun tentang dirinya. Dalam arti inilah, Sartre menolak segala konsepsi tentang kodrat manusia sebab tidak ada Tuhan yang memiliki konsepsi apapun tentang manusia. Sebagai makhluk yang bereksistensi sebelum esensi, manusia tidak terikat atau terbelenggu pada berbagai pasokan definisi tentangnya. Manusia berkebebasan menentukan sendiri siapakah dirinya. Manusia ibarat buku tulis kosong yang kemudian di sepanjang hidupnya menyusun isi bukunya dengan tulisan-tulisan tangannya sendiri. Manusialah yang membentuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Sartre menyebut manusia sebagai adalah (Man simply is). Manusia selalu terus-menerus bergerak maju memformulasi dirinya.
Pada titik ini kita menemukan nilai intrinsik tanggung jawab dalam kemanusiaan manusia. Sartre berujar “Manusia bukan apa-apa tetapi apa yang ia lakukan pada dirinya sendiri.” Artinya, manusia sepenuhnya adalah apa yang ia kehendaki sendiri. Dalam arti ini, Sartre hendak menegaskan bahwa sejak keberadaannya, setiap manusia memikul tanggung jawab untuk menentukan dirinya sendiri dalam ruang kehidupannya masing-masing. Dengan demikian, pengaruh pertama eksistensialisme menurut Sartre adalah menempatkan setiap manusia pada kepemilikan atas dirinya sendiri sebagaimana adanya dia, dan menaruh seluruh tanggung jawab atas keberadaannya di atas pundaknya sendiri. Maka karakter kedua manusia versi Sartre adalah manusia yang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Sampai di sini bukankah kita mendapatkan kesan bahwa manusia Sartrian adalah subjek-subjek tertutup yang semata-mata bertanggung jawab atas dirinya sendiri, yang keberadaannya melulu bernilai untuk dirinya? Di manakah letak tanggung jawab terhadap sosialitasnya? Untuk mengatasi ekstremitas kesan ini, Sartre berupaya membuat dua arti berbeda terhadap konsep subjektivismenya. Subjektivisme di satu sisi berarti kebebasan individual subjek yakni kebebasan dalam memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Di sisi lain, termuat arti bahwa manusia tidak dapat melampaui subjektivitas manusia. Ketika manusia memutuskan memilih sesuatu dalam konteks mewujudkan dirinya tentulah ia memilih apa yang bernilai baik untuk dirinya dan dengan sendirinya pilihan itu bernilai baik untuk sesamanya. Dalam arti inilah Sartre melihat letak tanggung jawab individualitas seseorang pada sesamanya. Oleh karena itu, manusia Sartrian bukan saja bertanggung jawab atas hidupnya sendiri tetapi juga bertanggung jawab atas kemanusiaan sesamanya.Meskipun menurut saya, konsep ini menyisakan celah untuk dipersoalkan. Bukankah keputusan bernilai sedemikian subyektifnya sehingga tidak bisa diberlakukan secara objektif?
2) Humanisme Radikal
Sartre juga mengemukakan konsepnya tentang humanisme. Humanisme Sartrian pertama-tama berkarakter radikal karena menyingkirkan sama sekali nilai-nilai yang diproduksi oleh kepercayaan kepada Tuhan pun segala norma yang terkait dengannya. Hanya dengan begitu, setiap manusia dapat menemukan ruang untuk berkreasi menghasilkan nilai-nilai yang digumulinya dalam hidup. Dengan kata lain, penyingkiran Tuhan adalah satu-satunya cara tepat yang memungkinkan manusia menghidupi hndividualitasnya. Itulah sebabnya dengan mengutip perkataan Dostoyevsky, Sartre berkata, “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu akan menjadi mungkin.” Manusia akan lepas dari cengkeraman kebenaran-kebenaran yang diproduksi dari luar, bebas dari beragam determinasi religius-etis dan menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Dengan konsep ini, humanisme Sartrian sebetulnya melaunching hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. Manusia menggenggam dalam tangannya sendiri kebebasan untuk menentukan hidupnya. Dalam arti ini, kebebasan yang dimaksud Sartre tidak melulu berupa kondisi bebas dari tekanan dan determinasi, tetapi juga keleluasaan di dalam menjalankan tanggung jawab dan tindakan yang perlu bagi kemanusiaannya. Manusia selalu berupa aksi dan kreasi merealisasikan diri. “Ia tidak dapat lain selain serangkaian tindakan dengan dirinya sebagai rangkaian, organisasi, sekumpulan relasi yang menetapkan tindakan-tindakan ini”, begitu kata Sartre. Menentang tuduhan para komunis, Sartre menampilkan model manusia eksistensialnya sebagai manusia yang tidak berkubang dalam quetisme, tetapi bergerak maju merealisasikan diri. Manusia seperti ini memiliki komitmen-diri (self-commitment) atas kehidupannya dan karena itu selalu melibatkan dirinya melalui pilihan tindakan-tindakan subyektifnya.
Manusia versi Sartre memang bukan manusia yang cukup-diri. Kehadirannya selalu merupakan proyek yang belum tuntas terselesaikan. Nilai dan makna dari kemanusiaan manusia senantiasa ditentukan oleh setiap pilihan yang dibuat dan komitmen yang dijalani. Sehingga segala hal untuk, katakanlah kesempurnaan bagaimana menjadi manusia, sebetulnya terletak sepenuhnya pada manusia. Tetapi dengan ini Sartre tidak memaksudkan pandangan humanisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai tujuan dari dirinya sendiri atau manusia sebagai nilai tertinggi. Sebab kemudian Sartre mengkonsepkan adanya tujuan-tujuan transenden yang pencapaiannya dimungkinkan oleh sifat manusia sebagai makhluk yang mampu melampaui dirinya (self-surpassing). Pelampauan atau transendensi ini tidak terarah pada tujuan tertentu seperti halnya dalam bahasa kristianitas,‘keserupaan dengan Allah’ atau ‘keselamatan kekal’. Manusia hanya perlu berupaya menyempurnakan kesadarannya sebagai manusia bebas dan bahwa keberlangsungannya bergantung sepenuhnya pada totalitas tindakan yang dipilihnya setiap hari. Dengan begitu manusia memang memberi jaminan untuk kehidupannya sendiri.
Kritik dan Aktualitasnya
1. Pembuktian Ketidakadaan Tuhan
Eksistensialisme ateistik Sartre memang telah memberangus keberadaan Tuhan. Secara eksplisit Sartre berujar bahwa gagasan “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu menjadi mungkin” merupakan poin awal yang penting bagi proyek eksistensialismenya. Ini berarti segala konsep tentang manusia sebagai ‘adalah’, ‘individu yang bebas’, ‘proyek yang tak pernah selesai’, ‘yang menentukan hidupnya sendiri’ merupakan buah dari pemberangusan Tuhan. Manusia sedemikian terisolir, sendirian, terlempar begitu saja ke dalam dunia dan karena itu memikul tanggung jawab besar untuk realisasi kemanusiaannya. Sebuah gambaran yang diandaikan tidak akan tercipta bila Sartre tidak menendang Tuhan jauh-jauh.
Dalam konteks ini penulis menilai bahwa Sartre sebetulnya tidak memberikan argumen yang adequat tentang ketidakadaan Tuhan. Sartre hanya menempatkan ketidakadaan Tuhan sebagai kondisi atau proposisi yang perlu untuk melegitimasi rangkaian konsepnya tentang subjektivisme manusia. Baginya ketiadaan Tuhan harus menjadi alasan yang mutlak perlu untuk menunjukkan kemandirian dan otonomitas absolut manusia atas hidupnya sendiri. Dengan tidak diikat oleh sistem nilai dan norma religius-etis, manusia sangat berpeluang mengaktivasi kebebasan dan tanggung jawab individual, merakit nilai-nilai secara selektif untuk kepentingannya saja tanpa perlu menanggung beban nilai produksi eksternal. Tapi bukankah dengan merampas legitimitas kebenaran tertinggi dari Sang Tuhan, Sartre merancang relativisasi kebenaran? Kebenaran menjadi sedemikian subjektif dan dalam hal ini argumen nilai tanggung jawab manusia pada sesamanya melalui pilihannya menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Jika misalnya kodrat kebernilaian manusia direlativisir, bagaimana mungkin Sartre menjadi sedemikian naif dengan merelakan pembasmian atas hak hidup sesamanya entah dalam perang atau aborsi dengan mengatasnamakan kebenaran subjektif belaka?
Sartre adalah anak zamannya. Ia hidup di tengah berkecamuknya perang dunia II, bergelut dengan perdebatan politik seputar dekolonialisasi Aljazair dan berkecimpung dalam upaya menelusuri jejak-jejak kekejaman Nazi Jerman. Kenyataan penderitaan dan kematian banyak manusia barangkali menjadi alasan bagi penendangan Tuhan dan segala sistem normanya. Sartre tidak mendapatkan kepastian kehadiran Tuhan di tengah situasi eksistensial seperti itu. Jika Tuhan dan agamanya tidak bertindak apapun maka di tangan manusialah perubahan itu semestinya dimulai. Manusialah yang mesti menentukan nasib dan keselamatannya sendiri. Itulah arti terdalam dari menjadi manusia.
Setiap fenomena eksistensial macam kecemasan, penderitaan dan kematian oleh bencana dan perang misalnya, memang menjadi saat-saat menentukan bagi manusia dan disposisi keberimananya pada Tuhan yang disembahnya. Seperti Sartre orang bisa menjadi sedemikian yakin bahwa Tuhan yang terkesan pendiam dan cuek itu tidak benar-benar ada. Tuhan hanyalah ciptaan, produk ketidaksanggupan manusia menentukan hidupnya sendiri. Pada titik ini SÓ©ren Kierkegaard, seorang eksistensialis Kristen tampil mencerahkan kita melalui konsep ‘kebenaran sebagai subjektivitasnya’. Untuk dapat beriman kepada Tuhan, manusia perlu melakukan lompatan iman, bergerak mengatasi segala ketidakmungkinan mendapatkan kepastian objektif tentang Tuhan. Dengan kata lain, beriman tidak mengisyratkan secara mutlak kebenaran objektif tentang keberadaan Tuhan sebab itu berada di luar kompetensi manusia sebagai yang terbatas. Manusia hanya cukup memeluk keyakinan subjektifnya bahwa Tuhan ada dan selanjutnya menghidupi keyakinan itu dengan penuh hasrat dalam kesehariannya.
2. Pemaknaan Kebebasan
Sartre begitu mendewa-dewakan kebebasan.Kebebasan menjadi unsur konstitutif eksistensi manusia, hal yang memungkinkan realisasi-diri dan pemaknaan kehidupannya. Tetapi menjadi terlalu naif ketika Sartre merangkum totalitas manusia sebagai kebebasan. Pandangan ini sedemikian ilusif sebab hampir tak pernah ada kebebasan yang murni. Dalam kajian para strukturalis macam Jacques Lacan misalnya, manusia sejak kecil telah direnggut oleh sistem sosial, dikuasai oleh bahasa orang tua, disituasikan dan ditentukan oleh nama dan beragam peran sosial yang diembannya. Maka dalam konteks ini, pemaknaan kebebasan Sartrian mesti menemukan artikulasinya yang realistis.
Di masa sekarang, keseharian manusia ditandai oleh himpitan interpelatif beragam citra dan makna terberi yang diproduksi oleh sistem-sistem massa. Kehadiran media komunikasi massa macam televisi dan internet berikut segala tampilannya entah gambar, iklan, sinetron ataupun jejaring sosial sungguh merangsang reduktifikasi pemaknaan kemanusiaan. Orang ramai-ramai mengidentifikasikan diri dengan artis-artis idolanya, dengan karakter yang diproduksi sinetron dan film, atau melalui modus konsumsi mereka berupaya mengasimilasi makna yang melekat erat di balik materi atau gaya hidup tertentu. Bukankah kesadaran diri ini menjadi sedemikian manipulatif sebab lahir sebagai produk determinasi struktur sosial belaka?
Sartre tentu akan menggugat pemaknaan manusia yang artifisial seperti ini. Manusia selalu berada dalam proses dan karena itu apa-apa yang digumuli dalam dunia tidak pernah memberikan keselesaian bagi proses pergumulannya. Manusia tidak dapat didefinisikan secara terbatas sebab manusia adalah totalitas tindakan dan pergumulannya di sepanjang hidupnya. Maka konsep kebebasan Sartre menawarkan penciptaan ruang terus-menerus bagi kreasi dan kreativitas memberi makna bagi kemanusiaan manusia dengan membebaskan diri dari belenggu pencitraan sosial. Manusia selalu terbuka pada kemungkinan-kemungkinan, tidak cukup-diri, tetapi selalu terjun ke dalam pergumulan dengan menggenggam komitmen merengkuh kesadaran bahwa dirinya ikut bertanggung jawab(untuk tidak jatuh pada subjektivitas Sartrian yang terkesan tertutup dan antroposentrik) atas eksistensinya sebagai manusia dan sosialitasnya.
Kajian konsep Sartre tentang manusia merupakan tema yang sebetulnya kaya pun dalam hal implikasinya. Pembahasan paper ini mungkin sangat terbatas sebab hanya merupakan upaya meneropong konsep Sartre dalam bukunya, Existensialism is a Humanism. Maka kajian ‘manusia menurut Jean-Paul Satre” senantiasa terbuka bagi eksplorasi lanjut melalui perspektif karya-karya eksistensialismenya yang lain.

definisi mimpi

Ketika kita tidur kadang selalu bermimpi mau itu mimpi yang indah atau mimpi buruk. Kita selalu bertanya-tanya kenapa ketika kita tidur selalu ada "mimpi"? Kenapa mimpi itu bisa terjadi? Dan kada karena "mimpi" kita seakan menjadi Paranoid ? . Diblog ini saya akan mencoba mengupas arti dari "mimpi" itu apa? Bagaimana proses "mimpi" itu terjadi ? Dan apa penjelasan menurut para ahli tentang "mimpi" itu sendiri ?.

Menurut WIKIPEDIA pengertian "Mimpi" adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat (rapid eye movement/REM sleep).
Kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa pemimpi. Pengecualiannya adalah dalam mimpi yang disebut lucid dreaming. Dalam mimpi demikian, pemimpi menyadari bahwa dia sedang bermimpi saat mimpi tersebut masih berlangsung, dan kadang-kadang mampu mengubah lingkungan dalam mimpinya serta mengendalikan beberapa aspek dalam mimpi tersebut.

Pemimpi juga dapat merasakan emosi ketika bermimpi, misalnya emosi takut dalam mimpi buruk. Ilmu yang mempelajari mimpi disebut oneirologi.

Sedangkan definisi "mimpi" menurut kamus Bahasa Indonesia adalah 1 sesuatu yg terlihat atau dialami dl tidur; 2 ki angan-angan; 
ber·mim·pi v 1 melihat (mengalami) sesuatu dl mimpi: semalam ia - dikejar harimau; 2 berkhayal; berangan yg bukan-bukan;
me·mim·pi·kan v 1 bermimpi akan sesuatu: ia - dirinya bisa terbang; 2 ki mencita-citakan (sesuatu yg susah atau tidak mungkin dicapai): walaupun pendidikannya rendah ia selalu - jabatan yg tinggi; ter·mim·pi-mim·pi v 1 selalu tampak (terbayang) dl angan-angan; 2 bermimpi krn selalu teringat (terkenang) akan sesuatu: begitu terkenangnya ia kpd ibunya sampai ia -; mim·pi·an n 1 apa yg dialami dl mimpi; impian 2 ki cita-cita (keinginan) yg mustahil atau susah dicapai;
pe·mim·pi n 1 orang yg suka bermimpi meskipun tidak tidur; 2 ki orang yg suka mengkhayal: lotere dianggap sbg jalan pintas bagi - untuk cepat kaya.

Selain dari Wikipedia dan kamus Bahasa Indonesia saya juga mencoba mencari arti "mimpi" menurut para ahli dan teori - teori yang mencoba menjelaskan arti "mimpi" itu apa .
Menurut tokoh psikologi klinis Sigmund Freud Mimpi adalah penghubung antara kondisi sadar dan tidak sadar.Mimpi bisa dikatakan sebagai kunci ketidaksadaran kita,mimpi melambangkan hasrat ketidaksadaran kita.mimpi merupakan penggambaran dari hal-hal yang tidak bisa dilakukan di kehidupan sebenarnya,dan mimpi juga bisa menjelaskan pemecahan masalah .ada dua teori terkenal yang mencoba menjelaskan tentang mimpi yaiitu teori kognitif dan teori aktivasi-sintesis
Teori kognitif mimpi (cognitive theory of dreaming )
menurut teori ini bermimpi melibatkan pengolahan informasi,ingatan dan pemecahan masalah.dalam teori kognitif mimpi,terdapat sdikit atau tidak ada pencarian untuk kandungan tersembunyi dan simbolik dari mimpi seperti yang dicari freud (Foulkes,1993,1999)
menurut teori ini mimpi mungkin merupakan suatu alam tempat kita dapat memecahkan masalah dan berfikir kreatif dalam menghasilkan ide-ide baru.namun terdapat kritik pada teori ini yaitu teori kognitif mimpi terpusat pada keraguan tentang kemampuan untuk menyelesaikan masalah ketika kita tidur dan kurang nya perhatian terhadap peran struktur otak dan aktivitas dalam mimpi.
Teori aktivasi-sintesis (activation-synthesis theory)
Menurut teori ini mimpi terjadi ketika Korteks serebrum mensintesiskan sinyal-sinyal saraf yang dihasilkan oleh aktivitas di bagian otak yang ebih rendah.menurut sudut pandang ini,mimpi merefleksikan usaha otak untuk memahami aktivitas saraf yang terjadi saat tidur (Hobson,1999)   menurut teori aktivasi-sintesis pengalaman sadar dikendalika rangsangan yang dihasilkan secara internal yang tidak memiliki konsekuensi yang jelas.  
Pengertian Mimpi Menurut Para Ahli Tabir "Mimpi" adalah : Menurut ahli-ahli ta’bir, mimpi ada tiga macam:
a) Peristiwa yang menggembirakan yang benar yang terjadi setelah bermimpi, dan ini tidak memerlukan penafsiran.
b)  Mimpi yang batil atau permainan syaitan, yaitu mimpi yang tidak dapat diperincikan oleh orang yang bermimpi. Ertinya orang yang bermimpi itu tidak sanggup mengingat tertib atau jalan cerita mimpi itu. Mimpi seperti ini dianggap batil dan tidak mempunyai sebarang makna atau takwil.
 Keinginan nafsu. Seperti kita ketahui nafsu ada tiga, yaitu nafsu mutmainnah, nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Mimpi seperti ini terjadi kerana pengaruh fikiran seseorang. Sesuatu yang dia lakukan atau dia khayalkan siang hari atau menjelang tidurnya selalumenjelma ketika tidurnya.
Itulah sedikit pengertian tentang "mimpi" yang saya temukan. Semoga bermanfaat. Amin..

pertanyaan filsafat



Pertanyaan
1.      Kalau orang awam yang blum tau aau mengertitentang filsafat kan memandangnya filsafat itu aliran sesat, trus menurut anggapan bapak gimna tentang pernyataan tersebut?
2.      Kita kan belajar filsafat trus kalau dalam filsafat itu karakter yang ada difilsafat itu seperti apa?
3.       
Jawaban !